Pages

Monday, May 9, 2011

Hasil Investigasi BPK Atas Kasus Century

Pendahuluan
Pemeriksaan Investigasi atas kasus PT Bank Century Tbk (BC) dilakukan berdasarkan Undang-undang (UU) no 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara dan UU no 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, serta memperhatikan Surat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) no PW/5487/DPR RI/IX/2009 tanggal 1 September 2009 perihal Permintaan Audit Investigasi/Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu terhadap Bank Century. Sesuai dengan surat DPR tersebut, pemeriksaan ini meliputi:

1. Dasar hukum, kriteria, dan proses pengambilan keputusan yang digunakan pemerintah dalam menetapkan status Bank Century yang berdampak sistemik;

2. Jumlah dan penggunaan Penyertaan Modal Sementara yang telah diberikan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) untuk menyelamatkan Bank Century; dan

3. Status dan dasar hukum pengucuran dana setelah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) no 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) ditolak DPR.

Untuk memenuhi permintaan DPR tersebut di atas, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) merumuskan tujuan pemeriksaan investigasi atas kasus BC sebagai berikut:
1) Menilai apakah pengawasan BC oleh Bank Indonesia (BI) telah dilakukan sesuai dengan ketentuan; (2) Menilai apakah pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) oleh BI kepada BC telah dilakukan sesuai dengan ketentuan; (3) Menilai apakah proses pengambilan keputusan penyelamatan BC telah sesuai dengan ketentuan; (4) Menilai apakah penggunaan dana FPJP dan Penyertaan Modal Sementara (PMS) telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku; dan (5) Menilai apakah terdapat dugaan pelanggaran ketentuan dalam pengelolaan BC yang dapat merugikan bank.

Pemeriksaan dilakukan pada Bank Indonesia (BI), Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan PT Bank Century Tbk (BC), serta instansi terkait lainnya. Pemeriksaan berlangsung dari tanggal 2 September 2009 s.d 19 November 2009.

Dalam pemeriksaan ini, BPK menggunakan Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) yang ditetapkan oleh BPK tahun 2007.

Sesuai SPKN, BPK telah meminta tanggapan atas hasil pemeriksaan BPK kepada entias yang diperiksa.

Gambaran Umum
Bank Century adalah merger tiga bank yaitu Bank Pikko, Bank Danpac, dan Bank CIC pada bulan Desember tahun 2004.

Berdasarkan hasil pemeriksaan BI, dalam kurun waktu tahun 2005 s.d. 2008, BC mengalami berbagai permasalahan, terutama berkaitan dengan kepemilikan surat-surat berharga (SSB) yang berkualitas rendah, dugaan pelanggaran Batas Maksimal Pemberian Kredit (BMPK) oleh pengurus bank, dan dugaan pelanggaran Posisi Devisa Neto (PDN).

Sejak tanggal 29 Desember 2005, BC dinyatakan berada "dalam pengawasan intensif" oleh BI karena permasalahan terkait SSB dan perkreditan yang berpotensi menimbulkan kesulitan keuangan, serta membahayakan kelangsungan usaha bank.

Kemudian tanggal 6 November 2008, BI menetapkan BC sebagai bank "dalam pengawasan khusus" dengan posisi rasio kewajiban penyediaan modal minimun atau Capital Adequacy Ratio (CAR) pada saat itu 2,35%.

Untuk mengatasi kesulitan liduiditas yang dihadapinya, pada tanggal 14, 17 dan 18 November 2008, BC menerima FPJP dari BI dengan jumlah keseluruhan sebesar Rp 689 miliar.

Setelah menerima FPJP, kondisi BC terus memburuk yang ditandai dengan menurunnya CAR per 31 Oktober 2008 menjadi negatif 3,53%, sehingga dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) tanggal 20 November 2008, BI menetapkan BC sebagai bank gagal yang ditengarai berdampak sistemik.

Keputusan tersebut disampaikan kepada KSSK dengan surat BI no 10/232/GBI/Rahasia tanggal 20 November 2008 tentang Penetapan Status Bank Gagal PT Bank Century Tbk dan Penanganan Tindak Lanjutnya.

Selanjutnya, setelah melalui proses pembahasan, dalam Rapat KSSK tanggal 21 November 2008 dan dengan Keputusan No 04/KSSK/2008, KSSK menetapkan:
1) PT Bank Century Tbk sebagai Bank Gagal yang Berdampak Sistemik sesuai dengan Surat Gubernur BI No. 01/232/GBI/Rahasia tanggal 20 November 2008; dan
2) Penanganan bank gagal sebagaimana dimaksud dalam diktum pertama kepada LPS untuk dilakukan penanganan sesuai dengan Undang-undang (UU) no 24 tahun 2004 tentang LPS. Sesuai Pasal 21 ayat (3) UU LPS, LPS melakukan penanganan bank gagal yang berdampak sistemik setelah Komite Koordinasi (KK) menyerahkan penanganannya pada LPS. Keputusan KSSK tersebut kemudian dijadikan pertimbangan oleh KK untuk mengeluarkan Keputusan KK no 01/KK.01/2008 tanggal 2008 yang menetapkan:
(1) Menyerahkan penanganan PT Bank Century Tbk yang merupakan bank gagal yang berdampak sistemik kepada LPS, dan
(2) Penanganan bank gagal sebagaimana dimaksud pada diktum pertama dilakukan sesuai dengan UU No 24 Tahun 2004 tentang LPS.

Setelah penyerahan tersebut, dalam rangka penanganan LPS telah melakukan tindakan penanganan BC, antara lain mengganti direksi dan komisaris, serta mengeluarkan dana untuk PMS sebesar Rp 6,76 triliun yang dikucurkan secara bertahap sejak tanggal 24 November 2008 s.d 24 Juli 2009.

Temuan Pemeriksaan
Sebagaimana tujuan pemeriksaan yang telah diuraikan di atas, BPK mengelompokkan temuan pemeriksaan menjadi lima kelompok, yaitu:(1) Proses merger dan pengawasan BC oleh BI; (2) Pemberian FPJP; (3) Penetapan BC sebagai Bank Gagal berdampak sistemik dan penanganannya oleh LPS; (4) Penggunaan dana FPJP dan PMS; dan (5) Praktik-praktik tidak sehat dan pelanggaran-pelanggaran ketentuan oleh pengurus bank, pemegang saham, dan pihak-pihak terkait dalam pengelolaan BC yang merugikan BCI.

Proses Merger dan Pengawasan BC oleh BI
Bank Century adalah hasil merger tiga bank yaitu Bank Pikko, Bank Danpac, dan Bank CIC. Merger ketiga bank tersebut didahului dengan adanya akuisisi Chinkara Capital Ltd. (Chinkara) terhadap Bank Danpac dan Bank Pikko, serta kepemilikan saham Bank CIC. Chinkara adalah sebuah perusahaan yang berdomisili di Kepualauan Bahama. Pemegang saham mayoritas Chinkara adalah RAR.

Persetujuan prinsip atas akuisisi diputuskan dalam RDG BI tanggal 27 November 2001. Persetujuan akuisisi diberikan oleh BI walaupun Chinkara tidak memenuhi persyaratan administratif berupa publikasi atas akuisisi berupa publikasi atas akuisisi oleh Chinkara, laporan keuangan Chinkara untuk tiga tahun terakhir, dan rekomendasi pihak berwenang di negara asal Chinkara.

RDG BI juga mensyaratkan agar ketiga bank tersebut melakukan merger, memperbaiki kondisi bank, mencegah terulangnya tindakan melawan hukum, serta mencapai dan mempertahankan CAR 8%.

Izin akuisisi pada akhirnya diberikan pada tanggal 5 Juli 2002 walaupun dari hasil pemeriksaan BI terdapat indikasi adanya perbuatan melawan hukum yang melibatkan Chinkara pada Bank CIC. BI tetap melanjutkan proses merger atas ketiga bank tersebut, walaupun berdasarkan hasil pemeriksaan BI periode tahun tahun 2001 hingga 2003, ditemukan adanya pelanggaran signifikan oleh ketiga bank tersebut, antara lain:

a. Pada Bank CIC, terdapat transaksi SSB fiktif senilai US$25 juta yang melibatkan Chinkara dan terdapat beberapa SSB yang berisiko tinggi sehingga bank wajib membentuk Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) yang berakibat pada CAR menjadi menjadi negatif, serta pembayaran kewajiban General Sales Management 102 (GSM 102) dan penarikan Dana Pihak Ketiga (DPK) dalam jumlah besar yang mengakibatkan bank mengalami kesulitan likuiditas, serta pelanggaran PDN.

b. Pada Bank Pikko, terdapat kredit kepada Texmaco yang dikatagorikan macet dan selanjutnya ditukarkan dengan Medium Term Notes (MTN) Dresdner Bank yang tidak memiliki notes rating sehingga bank wajib membentuk PPAP yang berakibat CAR menjadi negatif.

Persyaratan tersebut antara lain adalah apabila berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap Bank CIC terbukti bahwa Chinkara sebagai pemegang saham bank melakukan pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan atau dinyatakan tidak lulus dalam penilaian fit and proper test, maka BI akan membatalkan persetujuan akuisisi pada Bank Pikko dan Bank Danpac.

Pada tanggal 6 Desember 2004, BI memberikan persetujuan merger atas ketiga bank tersebut. Pemberian persetujuan merger tersebut dipermudah berdasarkan Catatan Direktur Direktorat Pengawasan Bank 1/DPwB1 (SAT) kepada Deputi Gubernur/DpG (AP) dan Deputi Gubernur Senior/DGS (AN) pada tanggal 22 Juli 2004. Bentuk kemudahan tersebut adalah:
(1) SSB pada bank CIC yang semula dinilai macet oleh BI menjadi dinilai lancar sehingga kewajiban pemenuhan setoran kekurangan modal oleh pemegang saham pengendali menjadi lebih kecil dan akhirnya CAR seolah-olah memenuhi persyaratan merger; dan (2) hasil Fit and Proper Test sementara atas pemegang saham (RAR) yang dinyatakan tidak lulus, ditunda penilaiannya dan tidak diproses lebih lanjut.

Pemberian kelonggaran tersebut tidak pernah dibahas dalam forum RDG akan tetap hanya dilaporkan dalam Catatan Direktur DPwB1 (SAT) tanggal 22 Juli 2004 tersebut di atas. Dalam proses pemberian ijin merger terjadi manipulasi oleh Direktur DPwB1 (SAT) yang menyatakan seolah-olah Gubernur BI (BA) memberikan disposisi merger ketiga bank tersebut mutlak diperlukan.

Dalam keterangan dan Surat BA kepada Pjs Gubernur BI tanggal 2 November 2009, BA menyatakan bahwa BA tidak pernah memberikan disposisi yang menyatakan bahwa merger mutlak diperlukan dan BA juga menyatakan bahwa telah terjadi manipulasi oleh Direktur DPwB1 (SAT) dalam Catatan yang disampaikan kepada DGS (AN) dan Dpg (AP) tersebut.

BI tidak menerapkan aturan dan persyaratan dalam pelaksanaan akuisisi dan merger sebagaimana diatur dalam: (1) Surat Keputusan (SK) Direksi BI No 32/51/KEP/DIR tanggal 14 Mei 1999 tantang Persyaratan dan Tata Cara Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Bank Umum; (2) SK Direksi BI No 31/147/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 tentang kualitas Aktiva Produktif; dan (3) Peraturan Bank Indonesia (PBI) No 2/1/PBI/2000 tanggal 14 Januari 2000 tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (fit and proper test) sebagaimana terakhir diubah dengan PBI No 5/25/PBI/2003 tanggal 10 November 2003.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dalam proses akuisisi dan merger Bank Danpac; dan Bank CIC menjadi BC, BI bersikap tidak tegas dan tidak prudent dalam menerapkan aturan dan persyaratan yang ditetapkannya sendiri.

a. Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan BI atas BC yang diterbitkan pada tanggal 31 Oktober 2005, diketahui bahwa posisi CAR BC per 28 Februari 2005 (dua bulan setelah merger) adalah negatif 132,5%. Sesuai dengan ketentuan dalam PBI no 3/21/PBI/2001 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Bank Minimum Bank Umum dan PBI no 6/9/PBI/2004 tentang tindak Lanjut Pengawasan dan Penetapan Status Bank sebagaimana diubah dengan PBI no 7/38/PBI/2005, seharusnya BC ditetapkan sebagai bank "dalam pengawasan khusus" sejak Laporan Hasil Pemeriksaan BI atas BC diterbitkan pada tanggal 31 Oktober 2005.

Atas usul Direktur DPwB1 (RS) dan disetujui oleh DpG Bidang 6 (SCF), BC hanya ditetapkan sebagai bank "dalam pengawasan intensif."

Bank yang ditempatkan "dalam pengawasan khusus" adalah bank yang mengalami kesulitan yang membayakan kelangsungan usahanya sehingga BI mengharuskan bank dan PSP untuk menyelesaikan permasalahan bank tersebut dalam waktu enam bulan (bisa diperpanjang selama tiga bulan).

Apabila dalam periode tersebut ternyata permasalahan bank tidak terselesaikan, maka BI akan menyatakan sebagai bank gagal. Sedangkan bank "dalam pengawasan intensif" adalah bank yang mengalami kesulitan yang dapat membahayakan kelangsungan usahanya sehingga BI mengharuskan bank dan PSP untuk menyelesaikan permasalahan bank tanpa ada batasan waktu yang jelas.

Nilai CAR BC per 28 Februari 2005 menjadi sebesar negatif 132,5% terutama disebabkan adanya aset berupa SSB sebesar USD 203 juta yang berkualitas rendah, diantaranya sebesar USD 116 juta masih dikuasai oleh pemegang saham.

BI menyetujui untuk tidak melakukan penyisihan 100% atau pengakuan kerugian (PPAP) terhadap SSB tersebut, walaupun menurut PBI no 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, seharusnya atas SSB tersebut dilakukan PPAP atau penyisihan sebesar 100%.

Hal tersebut merupakan rekayasa akuntansi yang dilakukan BC agar laporan keuangan bank tetap menunjukkan kecukupan modal dan hal ini disetujui oleh BI sebagai pengawas bank. BI menyutujui kondisi tersebut dengan alasan karena pemegang saham telah berkomitmen untuk menjualkan SSB bermasalah serta membuat skema penyelesaian melalui skema Assets Management Agreement (AMA) dan skema Assets and Purchase Agreement (ASPA).

Akan tetapi komitmen dan skema penyelesaian tersebut tidak pernah dilaksanakan oleh PSP. Sementara itu, pengawas BI tidak memerintahkan manajemen BC untuk melakukan penyisihan dan tidak mengakui adanya kerugian atas SSB tersebut.

Penempatan BC hanya "dalam pengawasan intensif" mengakibatkan tidak adanya kekuatan bagi BI untuk memaksa pemegang saham untuk menyelesaikan permasalahan dalam jangka waktu yang jelas, serta tidak memberikan kepastian hukum bagi BI untuk mengambil tindakan jika pemegang saham tidak dapat menyelesaikan masalah tersebut.

Hal tersebut di atas melanggar ketentuan:
1) PBI no 7/2/PBI/2001 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum yang mengatur bahwa SSB yang tidak diperdagangkan di bursa efek, tidak terdapat informasi nilai pasar secara transparan, dan tidak memiliki peringkat investasi, maka SSB tersebut dinilai macet dan harus dibentuk Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) 100%.

2) PBI no 3/21/PBI/2001 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum yang mengatur bahwa bank yang tidak dapat memenuhi modal minimum (CAR) 8% akan ditetapkan dalam pengawasan khusus sebagaimana yang diatur dalam ketentuan yang berlaku.

PBI no 6/9/PBI/2004 tentang Tindak Lanjut Pengawasan dan Penetapan Status Bank sebagaimana diubah dengan PBI no 7/38/PBI/2005 yang mengatur bahwa bank ditempatkan dalam pengawasan khusus bila memenuhi satu atau lebih kriteria yakni CAR di bawah 8% atau rasio Giro Wajib Minimum (GWM) dalam Rupiah kurang dari rasio yang ditetapkan untuk GWM, dengan perkembangan yang memburuk dalam waktu singkat atau berdasarkan penilaian BI mengalami kesulitan likuiditas yang mendasar.

b. Sejak tahun 2005 s.d 2007, Hasil Pemeriksaan BI atas BC menemukan pelanggaran Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) dalam kegiatan BC, namun BI tidak mengambil tindakan yang tegas. Pelanggaran BPMK terebut antara lain melalui pembelian SSB valas yang berkualitas rendah, penempatan antar bank yang menurut Bankers Almanak Tahun 2003 tidak termasuk dalam Top 200, dan pemberian fasilitas Letter of Credit (L/C) yang hanya dijamin dengan Bankers Acceptance.

Hal tersebut melanggar ketentuan PBI no 7/3/PBI/2005 tentang BMPK Bank Umum yang menyatakan bank yang tidak menyelesaikan pelanggaran BMPK selalu dikenakan sanksi administrasi, terhadap Dewan Komisari, Direksi, pegawai bank, pemegang saham, maupun pihak terafiliasi lainnya dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b, Pasal 50, dan Pasal 50 A Undang-undang no 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU no 10 tahun 1998.

Pemberian keringanan denda tersebut bertentangan dengan ketentuan dalam PBI no 7/37/PBI/2005 tentang PDN Bank Umum yang mengatur bahwa bank wajib memelihara PDN secara keseluruhan setinggi-tingginya 20% dari modal tengah hari kerja dan akhir hari kerja. Terhadap bank yang tidak memenuhi ketentuan tersebut selain dikenakan sanksi administrasi juga dikenakan sanksi berupa kewajiban membayar sebesar Rp 250 juta setiap hari pelanggaran.

d. Pengawas BI tidak mengungkapkan berbagai pelanggaran lainnya yang dilakukan oleh pemegang saham, pengurus bank, dan pihak-pihak terkait dengan BC yang mengakibatkan kerugian BC, seperti pemberian kredit dan fasilitas L/C yang melanggar ketentuan dan pengeluaran biaya-biaya fiktif. Pelanggaran-pelanggaran tersebut baru diungkapkan oleh Tim Investigasi BI pada saat BC telah ditangani oleh LPS (tahun 2008 s.d 2009).

Hal tersebut menunjukkan bahwa BI tidak bertindak tegas dalam penerapan ketentuan BI terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh BC. BI membiarkan BC melakukan rekayasa akuntansi sehingga seolah-olah BC masih memenuhi kecukupan modal (CAR) dengan cara membiarkan BC melanggar ketentuan PBI no 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Produktif Bank Umum. BI baru bersikap tegas menerapkan ketentuan BI mengenai PPAP pada saat BC telah ditangani oleh LPS.

Pada saat mengajukan permohonan FPJP, posisi CAR BC menurut perhitungan BI adalah positif 2,3% (posisi 30 September 2008).

Sementara itu, PBI no 10/26/PBI/2008 tanggal 30 Oktober 2008 mensyaratkan bahwa untuk memperoleh FPJP, bank harus memiliki CAR minimal 8%. Dengan demikian, BC tidak memenuhi syarat untuk memperoleh FPJP.

Pada tanggal 14 November 2008, BI mengubah PBI mengenai persyaratan pemberian FPJP dari semua CAR minimal 8% menjadi CAR positif, padahal menurut data BI posisi CAR bank umum per 30 September 2008 berada di atas 8% yaitu berkisar antara 10,39% s.d 476,34% dimana satu-satunya bank yang CAR-nya di bawah 8% adalah BC.

Dengan demikian, perubahan persyaratan CAR dalam PBI tersebut patut diduga dilakukan untuk merekayasa agar BC dapat memperoleh FPJP.

Dengan perubahan ketentuan permodalan tersebut dan dengan menggunakan posisi CAR per 30 September 2008 sebesar positif 2,35%, BI menyetujui pemberian FPJP kepada BC sebesar Rp 502,07 miliar pada tanggal 14 November 2008 yang dicairkan pada hari yang sama pukul 20.43 WIB sebesar Rp 356,81 miliar dan tanggal 17 November 2008 sebesar Rp 145,26 miliar.

Kemudian pada tanggal 18 November 2008, BC mengajukan tambahan FPJP sebesar Rp 319,26 miliar. Permohonan tersebut disetujui sebesar Rp 187,32 miliar dan kemudian dicairkan oleh BI pada hari yang sama. Dengan demikian, total pemberian FPJP adalah sebesar Rp 689 miliar. Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa posisi CAR BC pada tanggal 31 Oktober 2008 (sebelum persetujuan FPJP) sudah negatif 3,53%.

Hal ini melanggar ketentuan PBI no 10/30/PBI/2008 yang menyatakan bahwa bank yang dapat mengajukan FPJP adalah bank dengan CAR positif.

Selain itu, sebagaian jaminan FPJP yang diperjanjikan sebesar Rp 467,99 miliar ternyata tidak secure menurut penilaian Direktorat Kredit, BPR, dan UMKM (DKBU) BI, sehingga nilai jaminan hanya sebesar 83% dari plafon FPJP.

Hal ini melanggar ketentuan PBI no 10/26/PBI/2008 juncto PBI no 10/30/PBI/2008 yang menyatakan bahwa jaminan dalam bentuk aset kredit minimal 150% dari plafon FPJP.

4. Sejak tanggal 6 November 2008, BC ditetapkan sebagai bank "dalam pengawasan khusus", untuk itu BI menempatkan pengawas bank di BC, sehingga BI mempunyai akses yang cukup untuk memperoleh data BC yang mutakhir. Sesuai dengan ketentuan dalam PBI no 6/9/PBI/2004 tentang Tindak Lanjut Pengawasan dan Penetapan Status Bank sebagaimana diubah dengan PBI no 7/38/PBI/2005, bank yang berstatus "dalam pengawasan khusus" dilarang melakukan transaksi dengan pihak terkait dan atau pihak-pihak lain yang ditetapkan BI, kecuali telah memperoleh persetujuan BI.

Sesuai dengan PBI no 6/9/PBI/2004 tentang Tindak Lanjut Pengawasan dan Penetapan Status Bank sebagaimana diubah dengan PBI no 7/38/PBI/2005. pemegang saham bank yang ditetapkan sebagai bank dalam pengawasan khusu diberikan waktu selama enam bulan (diperpanjang selama tiga bulan) untuk menyelesaikan permasalahan bank.

Apabila dalam periode tersebut permasalahan bank tidak terselesaikan maka bank tersebut akan ditetapkanoleh BI sebagai bank gagal. Meskipun BC baru pada tanggal 6 November 2008 ditetapkan sebagai bank "dalam pengawasan khusus" namun dalam RDG BI tanggal 20 November 2008 pukul 19.44, BI menetapkan BC sebagai "Bank Gagal". Penetapan tersebut didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut:

a. CAR BC posisi 31 Oktober 2008 adalah negatif 3,5% dan dinilai tidak dapat ditingkatkan menjadi 8% sehingga bank dinilai insolvent. Hal ini disebabkan sampai dengan saat ini pemegang saham tidak dapat melaksanakan komitmennya untuk melakukan penambahan modal dan usaha untuk mengundang masuknya investor baru tidak membawa hasil.

b. Kondisi likuiditas yakni Giro Wajib Minimum (GWM) dalam Rupiah tanggal 19 November 2008 masih positif sebesar Rp 134 miliar (1,8%), namun terdapat kewajiban Real Time Gross Settlement (RTGS) dan kliring yang belum diselesaikan oleh BC sebesar Rp 401 miliar, sehingga GWM rupiah berkurang dari 0%. Di samping itu, kewajiban yang akan jatuh tempo pada tanggal 20 Nvember 2008 adalah sebesar Rp 458 miliar.

Selanjutnya, RDG membahas analisis dampat sistemik dari penetapan BC sebagai "Bank Gagal". Analisis BI atas dampak kegagalan BC menggunakan lima aspek, yakni dampak kepada institusi keuangan, dampak kepada pasar keuangan, dampak kepada sistem pembayaran, dampak kepada sektor riil, dan dampak kepada psikologi pasar.

Hasil analisis tersebut menunjukkan adanya ketidakpastian yang tinggi terutama terhadap psikhologi pasar/masyarakat yang selanjutnya dapat memicu ketidakpastian/gangguan di pasar keuangan dan sistem pembayaran.

Keputusan RDG tersebut kemudian disampaikan kepada Menteri Keuangan selaku Ketua KSSK dengan Surat no 10/232/GBI/Rahasia tanggal 20 November 2008 tentang penetapan status Bank Gagal PT Century Tbk dan Penetapan Tindak Lanjutnya.

Sebelum BI mengirimkan surat No 10/232/GBI/Rahasia tanggal 20 November 2008, KSSK telah beberapa kali melakukan rapat koordinasi untuk membahas kondisi BC.

Rapat Konsultasi tersebut dihadiri oleh unsur-unsur BI, Departemen Keuangan dan LPS pada tanggal 14, 17, 18 dan 19 November 2008. Setelah menerima Surat Gubernus BI No 10/232/GBI/Rahasia tanggal 20 November 2008, KSSK melakukan Rapat KSSK yang diawali dengan Rapat Konsultasi KSSK tanggal 21 November 2008 pukul 00.11 s.d 05.00 WIB. Rapat Konsultasi tersebut didahului dengan presentasi BI yang menguraikan BC sebagai bank gagal dan analisis dampak sistemiknya.

Berdasarkan notulen Rapat Konsultasi KSSK tersebut, diketahui bahwa selain BI, peserta rapat lainnya (LPS, Departemen Keuangan, dan Bank Mandiri) pada umumnya mempertanyakan dan tidak setuju dengan argumentasi dan analisis BI yang menyatakan bahwa BC ditengarai berdampak sistemik.

Menanggapi pertanyaan dari peserta rapat lainnya, BI menyatakan bahwa sulit untuk mengukur apakah dapat menimbulkan risiko sistemik atau tidak, karena merupakan dampak berantai yang sulit diukur dari awal secara pasti. Yang dapat diukur hanyalah perkiraan cost/biaya yang timbul apabila dilakukan penyelamatan. Mengingat situasi yang tidak menentu, maka lebih baik mengambil pendekatan kehati-hatian dengan melakukan penyelamatan namun dengan meminimalisir cost. Keputusan harus diambil segera dan tidak dapat ditunda sampai Jumat sore seperti saran LPS karena Bank Century tidak mempunyai cukup dana untuk pre-fund kliring dan memenuhi kliring sepanjang hari itu.


Setelah Rapat Konsultasi KSSK tersebut di atas, selanjutnya diadakan Rapat Tertutup KSSK pada tanggal 21 November 2008 pukul 04.25 WIB s.d 06.00 WIB, yang dihadiri oleh Menteri Keuangan (SMI) selaku Ketua KSSK, Gubernur BI (BO) selaku anggota KSSK, dan sekretaris KSSK (RP).

Rapat tersebut memutuskan BC sebagai Bank Gagal yang Berdampak Sistemik sesuai dengan Surat Gubernur BI No 10/232/GBI/Rahasia tanggal 20 November 2008 dan menetapkan penanganan BC kepada LPS sesuai dengan UU no 24 tahun 2004 tentang LPS.

Keputusan KSSK tersebut ditindaklanjuti dengan Rapat Komite Koordinasi (KK) pada tanggal 21 November 2008 pukul 05.30 WIB s.d selesai dihadiri oleh Menteri Keuangan selaku Ketua KK, Gubernur BI, dan Ketua Dewan Komisioner (DK) LPS masing-masing sebagai anggota KK. Rapat tersebut memutuskan:
(1) Menyerahkan penanganan BC yang merupakan bank gagal yang berdampak sistemik kepada LPS
(2) Penanganan bank gagal tersebut dilakukan dengan UU no 24 Tahun 2004 tentang LPS. Keputusan Rapat KK tersebut selanjutnya dituangkan dalam Keputusan KK no 01/KK.01/2008 tanggal 21 November 2008.

Terhadap proses penetapan BC sebagai bank gagal berdampak sistemik dapat dikemukakan beberapa hal sebagai berikut:
a. BI tidak memberikan informasi yang sesungguhnya, lengkap dan mutakhir mengenai kondisi BC kepada KSSK.

Surat Gubernur BI no 10/232/GBI/Rahasia tanggal 20 November 2008 tentang Penetapan Status Bank Gagal PT Bank Century Tbk dan Penanganan Tindak Lanjutnya, antara lain menyatakan bahwa untuk menaikkan CAR BC posisi 31 Oktober 2008 dari negatif 3,53% menjadi 8%, dibutuhkan tambahan modal sebesar Rp 632 miliar, namun jumlah tersebut akan terus bertambah seiring dengan pemburukan kondisi BC selama bulan November 2008. Selain itu, BI juga menginformasikan bahwa kebutuhan likuiditas sampai dengan tiga bulan ke depan adalah sebesar Rp 4,792 miliar.

Keputusan KSSK yang menetapkan BC sebagai bank gagal yang berdampak sistemik dilakukan pada hari Jumat pagi tanggal 21 November 2008. Pada hari Minggu tanggal 23 November 2008, Dewan Komisioner LPS mengadakan rapat untuk menetapkan biaya penanganan BC. Sebelum rapat dimulai dilakukan pertemuan informal antara LPS dan pengawas bank dari BI.

Dari hasil pertemuan tersebut, LPS memperoleh informasi bahwa biaya yang diperlukan untuk setoran modal agar mencapai
CAR 8% adalah sebesar Rp 2,6 triliun. Peningkatan biaya penanganan dari semula 632 miliar pada hari Jumat tanggal 21 November 2008 menjadi Rp 2,6 triliun (nilai ini disesuaikan oleh LPS menjadi Rp 2,77 triliun) pada hari Minggu tanggal 23 November 2008 terjadi bukan karena adanya transaksi baru pada hari Sabtu dan Minggu. Melainkan karena adanya perubahan asumsi terutama mengenai penilaian SSB valas yang semula dinilai lancar, kemudian setelah bank ini ditangani oleh LPS, BI menilai SSB tersebut sebagai aset macet sehingga harus disisihkan 100%.

Berdasarkan informasi pengawas bank dari BI tersebut, Dewan Komisioner LPS memutuskan biaya penanganan BC dan penyetoran pendahuluan Penyertaan Modal Sementara (PMS) LPS kepada BC adalah sebesar Rp 2,776 miliar. Keputusan Dewan Komisioner (KDK) LPS tersebut tertuang dalam KDK LPS no KEP 18/DK/XI/2008 tanggal 23 November 2008.

Peningkatan biaya penanganan ini, kemudian dibahas dalam rapat KSSK tanggal 24 November 2008.

Terkait hal ini, Menteri Keuangan selaku Ketua KSSK dalam rapat tanggal 24 November 2008 mempertanyakan kemampuan BI untuk melakukan assesment mengenai profil pemegang saham dikaitkan dengan risiko bank, karena apabila judgement BI atas BC diragukan kredibilitasnya, maka hasil assessment atas potensi klaim potensi risiko sistemik yang diputuskan KSSK pun dipertanyakan kredibilitasnya, sehingga secara fundamental akan berpengaruh terhadap penilaian kemampuan KSSK untuk melakukan assessment risiko sistemik.

Selain itu, Menteri Keuangan dan Anggota Dewan Komisioner LPS juga mempertanyakan judgement BI yang tidak memacetkan (mengakui kerugian) atas surat berharga yang dijamin AMA sebelum digelarnya Rapat KSSK pada tanggal 20 November 2008.

Tanggapan Gubernur BI atas hal tersebut adalah bahwa Pemerintah telah memutuskan pengambilalihan BC dan diharapkan tidak mengambil policy lain yang dapat menjadi blunder dan berdampak lebih buruk. Dari saat pengambilan keputusan KSSK sampai dengan ke belakang, BI sesuai dengan proporsinya akan bertanggung jawab penuh atas segala kebijakan dalam rangka pengawasan BC.

Kebutuhan biaya penanganan tersebut terus meningkat seiring dengan adanya perhitungan baru yang dilakukan BI, masing-masing tanggal 27 Januari 2009 dan 24 Juli 2009, sehingga pada akhirnya biaya penanganan menjadi Rp 6,7 triliun.

Peningkatan kebutuhan dana tersebut adalah untuk memenuhi kebutuhan CAR berdasarkan assessment yang dilakukan oleh BI.

Rincian assessment yang dilakukan BI adalah sebagai berikut:

Posisi 31 Oktober 2008, Assessment BI 20 November 2008, CAR Negatif 3,53%, Kebutuhan PMS Kumulatif Rp 632 miliar

Posisi 20 November 2008, Assessment BI 23 November 2008, CAR Negatif 35,92%, Kebutuhan PMS Rp 2,776 triliun


Posisi 31 Desember 2008, Assessment BI 27 Januari 2009, CAR Negatif 19,21%, Kebutuhan PMS Rp 6,132 triliun

Posisi 30 Juni 2009, Assessment BI 24 Juli 2009, CAR Positif 8%, Kebutuhan PMS Rp 6,762 triliun

Menurut perhitungan BPK, jika PPAP atas aktiva produktif diterapkan sesuai ketentuan, maka CAR BC per tanggal 20 November 2008 adalah sebesar negatif 257,90%, dengan kebutuhan tambahan modal yang diperlukan untuk mencapai CAR 8% sebesar Rp 4.233,40 miliar.

Dengan demikian, seharusnya BI sudah dapat menginformasikan kepada KSSK mengenai kondisi BC tersebut pada Rapat KSSK tanggal 21 November 2008, sehingga KSSK dapat mengambil kesimpulan berdasarkan data yang lebih lengkap dan mutakhir.

BPK berkesimpulan bahwa BI tidak memberikan informasi yang sesungguhnya, lengkap, dan mutakhir mengenai kondisi BC pada saat menyampaikan BC sebagai bank gagal yang ditengarai berdampak sistemik kepada KSSK melalui Surat Gubernur BI no 10/232/GBI/Rahasia tanggal 20 November 2008. Informasi yang tidak diberikan seutuhnya adalah terkait PPAP (pengakuan kerugian) atas SSB valas yang mengakibatkan penurunan ekuitas.

BI baru menerapkan secara tegas ketentuan PPAP atas aktiva-aktiva produktif tersebut setelah BC diserahkan penanganannya kepada LPS sehingga terjadi peningkatan biaya penanganan BC dari yang semula diperkirakan sebesar Rp 632 miliar menjadi Rp 6,7 triliun.

Analisis dampak sistemik dalam penetapan BC sebagai "Bank Gagal" menggunakan kriteria yang dimuat dalam Memorandun of Understanding (MoU) on Cooperation Between The Financial Supervisory Authorities, Central Banks and Finance Minstries of The European Union; On Cross-Border Financial Stability tanggal 1 Juni 2008 (selanjutnya disebut MoU).

Dalam MoU tersebut disepakati empat aspek sebagai dasar penentuan dampak sistemik, yaitu aspek institusi keuangan, pasar keuangan, sistem pembayaran dan sektor riil, yang diukur dengan indikator kuantitatif.

Dari keempat aspek tersebut, BI hanya menggunakan indikator kuantitatif untuk aspek institusi keuangan. Sedangkan untuk aspek lainnya lebih mendasarkan pada pertimbangan kualitatif. Selain keempat aspek tersebut, BI juga mempertimbangkan aspek lain yaitu aspek psikologi pasar.

Hasil analisis kuantitatif terhadap aspek institusi keuangan oleh BI adalah sebagai berikut:

Kriteria fungsi: Apakah fungsi bank sangat penting dalam industri perbankan? PT Bank Century, tidak. DPK Bank/DPK industri: 0,68%. Kredit Bank/kredit industri: 0,42%.

Kriteria hungbungan dengan nasabah: Apakah peranan bank dalam melayani nasabah? PT Bank Century, dari sisi kredit mayoritas diberikan untuk modal kerja (76,58%) serta untuk membiayai sektor industri pengolahan (21,79%), perdagangan, restoran dan hotel (22,93%) dan jasa-jasa dunia usaha (28,47%). Namun dilihat dari pangsa kreditnya terdapat industri (0,42%), maka perannya relatif kecil. Dari segi penghimpunan dana, sebagian besar dihimpun dalam bentuk deposito 84,82%.

Kriteria ukuran bank: Bagaimana ukuran (size) bank dibandingkan terhadap industri? PT Bank Century kecil (tidak signifikan). Aset bank/aset industri: 0,72%. DPK Bank/DPK Industri: 0,68%. Kredit bank/kredit industri: 0,42%.

Kriteria substitutability: Apakah fungsi bank dapat digantikan oleh bank lain? PT Bank Century bisa. Terdapat banyak bank sejenis dalam industri perbankan.

Kriteria keterkaitan: Bagaimana kaitan antara bank dengan bank lain dalam industri perbankan? PT Bank Century relatif signifikan. Transaksi antar bank aktiva/total aset: 24,28%. Transaksi antar bank pasiva/total kewajiban: 19,34%.

Hasil analisis BPK terhadap proses assessment terhadap dampak sistemik oleh BI menunjukkan bahwa:

1) Terdapat inkonsistensi dalam penerapan MoU Uni Eropa yaitu dengan penambahan satu aspek berupa aspek psikologi pasar dalam pembuatan analisis dampat sistemik BC yang dilakukan oleh BI. Selain itu, BI juga tidak menggunakan indikator kuantitatif dalam melakukan penilaian terhadap dampat selain dampak pada institusi keuangan.

Assessment pada masing-masing aspek lebih banyak didasarkan pada judgement dan mengandung sejumlah kelemahan dalam penentuan indikatornya.

2) Proses pembuatan analisis dampak sistemik BC terkesan tergesa-gesa karena hanya dibuat dalam waktu dua hari dengan menggunakan satu metode yang baru pertama kali digunakan dan belum pernah diujicobakan sebelumnya.

3) Data yang digunakan adalah data yang tidak mutakhir karena menggunakan data per 31 Oktober 2008 bukan data yang paling dekat dengan tanggal penetapan BC sebagai Bank Gagal yang Ditengarai Berdampak Sistemik (tanggal 20 November 2008). Sementara, posisi CAR yang digunakan untuk menetapkan BC sebagai bank gagal berdampak sistemik adalah posisi tanggal 31 Oktober 2008.

KSSK juga tidak mempunyai suatu kriteria yang terukur untuk menetapkan dampak sistemik BC, tetap penetapannya lebih didasarkan kepada judgement. Dari aspek institusi keuangan terlihat bahwa size BC tidak signifikan dibandingkan dengan industri perbankan secara nasional, namun KSSK lebih memperhatikan aspek psikologi pasar yang diperkirakan dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan secara keseluruhan yang pada akhirnya dapat mempengaruhi stabilitas ekonomi dan keuangan, maka KSSK menetapkan BC sebagai bank gagal yang berdampak sistemik.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa KSSK menetapkan BC sebagai bank gagal berdampak sistemik serta menetapkan penanganannya kepada LPS mengacu pada Perppu No 4 tahun 2008. Tetapi proses pengembalian keputusan tersebut tidak dilakukan berdasarkan data kondisi bank yang lengkap dan mutakhir, serta tidak berdasarkan pada kriteria yang terukur.

Mengacu pada Keputusan KSSK tersebut, KK kemudian menerbitkan Keputusan KK no 01/KK/2008 tanggal 21 November 2008 yang isinya:

(1) Menyerahkan penanganan BC yang merupakan Bank Gagal yang berdampak sistemik kepada LPS,

(2) Penanganan bank gagal sebagaimana dimaksud oada diktum pertama dilakukan sesuai dengan UU no 24 Tahun 2004 tentang LPS. Walaupun Keputusan KK mendasarkan pada Keputusan KSSK, namun tidak ditemukan adanya penyerahan dan/atau korespondensi mengenai penyerahan BC dari KSSK kepada KK.

UU no 24 tahun 2004 tentang LPS telah mengatur beberapa ketentuan mengenai keberadaan dan tugas Komite Koordinasi sebagai berikut:

a. Pasal 1 angka 3: "Lembaga Pengawas Perbankan yang selanjutnya disebut LPP, adalah Bank Indonesia atau lembaga pengawasan sektor jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang tentang Bank Indonesia.''

b. Pasal 1 angka 9: "Komite Koordinasi adalah komite yang beranggotakan Menteri Keuangan, LPP, Bank Indonesia dan Lembaga Penjamin Simpanan yang memutuskan kebijakan penyelesaian dan penanganan suatu Bank Gagal yang ditengarai berdampak sistemik.''

c. Pasal 21

1) LPS menerima pemberitahuan dari LPP mengenai bank bermasalah yang sedang dalam upaya penyehatan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang perbankan.

2) LPS melakukan penyelesaian Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik setelah LPP atau Komite Koordinasi menyerahkan penyelesaiannya kepada LPS.

3) LPS melakukan penanganan Bank Gagal yang berdampak sistemik setelah Komite Koordinasi menyerahkan penanganannya kepada LPS.

d. Penjelasan Pasal 21 ayat (2): "Komite Koordinasi adalah komite yang akan dibentuk berdasarkan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (5) Undang-undang nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia."

Dalam kenyataannya kelembagaan KK yang beranggotakan Menteri Keuangan, LPP, BI dan LPS sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (2) UU LPS belum pernah dibentuk berdasarkan UU. Sementara Perppu no 4 tahun 2004 tentang JPSK tidak mengatur pembentukan KK namun mengatur pembentukan dan tugas KSSK. Perppu no 4 tahun 2008 juga tidak mengatur hubungan kerja antara KK dan KSSK.

BPK berkesimpulan bahwa dari semua ketentuan yang ada, menunjukkan pada saat penyerahan BC dari KK kepada LPS tanggal 21 November 2008, kelembagaan KK yang beranggotakan Menteri Keuangan (sebagai Ketua), Gubernur BI (sebagai anggota) dan Ketua Dewan Komisioner LPS (sebagai anggota) belum pernah dibentuk berdasarkan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Pasal 21 ayat (2) UU no 24 tahun 2004 tentang LPS, sehingga dapat mempengaruhi status hukum atas keberdaan lembaga KK dan penanganan BC oleh LPS.

Penanganan BC dilakukan sesuai dengan UU no 24 Tahun 2004 tentang LPS. Dalam melakukan penanganan terhadap BC, LPS melakukan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Mengambil alih Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) BC dan mengganti pengurus bank (Komisaris dan Direksi BC) pada tanggal 21 November 2008.

b. Menyalurkan penyertaan modal sementara sebesar Rp 6,7 triliun dengan tahapan penyaluran sebagai berikut:

Tahap I: Rp 2,776,140,00. Dasar Penetapan: Keputusan Dewan Komisioner (KDK) LPS No.KEP.18/DK/XI/2008 tanggal 23 November 2008 tentang Penetapan Biaya Penanganan Bank Century, Tbk dan Penyetoran Pendahuluan PMS LPS Kepada PT Bank Century, Tbk. Tujuan PMS: Untuk memenuhi KPMM/CAR 10%.

Penyetoran dilakukan enam kali:
24 Nov 2008 Rp 1.000.000,00 (tunai)
25 Nov 2008 Ro 588.314,00 (tunai)
26 Nov 2008 Rp 475.000,00 (tunai)
27 Nov 2008 Rp 100.000,00 (tunai)
28 Nov 2008 Rp 250.000,00 (tunai)

Tahap II: Rp 2.201.000,00. Dasar Penetapan: KDK LPS No.KEP021/DK/XII/2008 tanggal 5 Desember 2008 tentang Penetapan Tambahan Biaya Penanganan PT Bank Century, Tbk. Tujuan PMS: Untuk memenuhi kebutuhan likuiditas dari tanggal 9 s.d 31 Desember 2008.

Penyetoran dilakukan tiga belas kali:
9 Des 2008 Rp 250.000,00 (tunai)
10 Des 2008 Rp 200.000,00 (tunai)
11 Des 2008 Rp 200.000,00 (tunai)
15 Des 2008 Rp 175.000,00 (tunai)
16 Des 2008 Rp 100.000,00 (tunai)
17 Des 2008 Rp 100.000,00 (tunai)
18 Des 2008 Rp 75.000,00 (tunai)
19 Des 2008 Rp 125.000,00 (tunai)
22 Des 2008 Rp 150.000,00 (tunai)
23 Des 2008 Rp 30.000,00 (tunai)
23 Des 2008 Rp 445.250,00 (SUN)
24 Des 2008 Rp 80.000,00 (tunai)
30 Des 2008 Rp 270.749,00 (tunai)

Tahap III: Rp 1.155.000,00. Dasar Penetapan: KDK LPS No.KEP 001/DK/II/2009 tanggal 3 Februari 2009 tentang Penetapan Tambahan Kedua Biaya Penanganan PT Bank Century, Tbk. Tujuan PMS: Untuk memenuhi KPMM/CAR 8%.

Penyetoran dilakukan tiga kali:
4 Feb 2009 Rp 820.000,00 (SUN)
24 Feb 2009 Rp 150.000,00 (tunai)
24 Feb 2009 Rp 185.000,00 (SUN)

Tahap IV: Rp 630.221,00. Dasar Penetapan: KDK LPS No.KEP 019/DK/VII/2009 tanggal 21 Juli 2009 tentang Penetapan Tambahan Ketiga Biaya Penanganan PT Bank Century, Tbk. Tujuan PMS: Untuk memenuhi KPMM/CAR 8%.

Penyetoran dilakukan satu kali: 24 Juli 2009 Rp 630.221,00 (tunai)

Total Rp 6.762.361,00 (angka dalam jutaan rupiah)

a. Keputusan KSSK tentang penetapan BC sebagai bank gagal berdampak sistemik tanpa menyebutkan biaya penanganan yang harus dikeluarkan oleh LPS. Hal tersebut karena penanganan bank gagal berdampak sistemik dilakukan oleh LPS berdasarkan UU LPS dan peraturan pelaksananya. Dengan demikian, LPS harus lebih dahulu menetapkan perkiraan biaya penanganan bank gagal berdampak sistemik.

Namun demikian, pada kenyataannya, LPS tidak terlebih dahulu melakukan perhitungan dan penetapan perkiraan biaya penanganan BC, sebelum melakukan penyaluran dana PMS. Perhitungan kebutuhan dana PMS dilakukan oleh LPS secara bertahap berdasarkan assessment dari BI dan permintaan manajemen BC. Sampai saat ini, LPS belum secara resmi menetapkan perhitungan perkiraan biaya penanganan BC secara keseluruhan.

Hal tersebut melanggar ketentuan Peraturan LPS (PLPS) no 5/PLPS/2006 pasal 6 ayat (1) yang menyatakan bahwa LPS menghitung dan menetapkan perkiraan biaya penanganan bank gagal sistemik.

b. Penyaluran PMS sebesar Rp 6,762 miliar dilakukan melalui empat tahap. Tahap pertama sebesar Rp 2,776 miliar, tahap kedua Rp 2,201 miliar, tahap ketiga sebesar Rp 1,155 miliar dan tahap keempat sebesar Rp 630 miliar. Dari keempat tahap tersebut, tambahan PMS tahap kedua tidak dibahas dengan KK.

Hal ini bertentangan dengan Pasal 33 PLPS no 5/PLPS/2006 sebagaimana diubah dengan PLPS no 3/PLPS/2008 yang menyatakan bahwa "selama bank gagal sistemik dalam penanganan LPS, jika berdasarkan LPP kondisi bank menurun sehingga menyebabkan diperlukan tambahan modal disetor untuk memenuhi tingkat kesehatan bank, maka LPS meminta Komite Koordinasi untuk membahas permasalahan bank serta langkah-langkah yang akan diambil untuk penanganan bank tersebut."

PMS tahap kedua sebesar Rp 2,201 miliar disalurkan untuk memenuhi kebutuhan likuiditas sesuai dengan permintaan dari
manajemen BC, Sesuai dengan ketentuan Pasal 6 ayat (2) PLPS no.5/PLPS/2006 menetapkan bahwa "perkiraan biaya penanganan bank gagal sistemik adalah jumlah perkiraan biaya untuk menambah modal disetor bank yang bersangkutan sampai bank tersebut memenuhi permintaan manajemen BC untuk menambah PMS dalam rangka memenuhi kebutuhan likuiditas.

Untuk memenuhi permintaan manajemen BC tersebut LPS merubah ketentuan Pasal 6 PLPS no.3/PLPS/2008 pada tanggal 5 Desember 2008. Dalam ketentuan baru tersebut, LPS menambah ketentuan bahwa biaya penanganan bank gagal sistemik tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan likuiditas, sekurang-kurangnya memenuhi ketentuan tingkat kesehatan bank yang ditetapkan oleh BI.

Dengan perubahan PLPS tersebut, pada tanggal yang sama yaitu 5 Desember 2008, Dewan Komisioner LPS memutuskan untuk menambah biaya penanganan BC untuk memenuhi likuiditas sebesar Rp 2,201 miliar.

Dengan demikian, patut diduga bahwa perubahan PLPS merupakan rekayasa yang dilakukan agar BC dapat memperoleh tambahan PMS tidak hanya untuk memenuhi CAR, tetap juga untuk memenuhi kebutuhan likuiditas.

c. Berdasarkan dokumen Notulen Rapat Paripurna DPR tanggal 18 Desember 2008, penjelasan Ketua DPR Periode 2004-2009, surat Ketua DPR RI kepada Ketua BPK no.PW/5487/DPR RI/IX/2009 tanggal 1 September 2009 perihal Permintaan Audit Investigas/Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu terhadap Bank Century, serta berdasarkan Laporan Komisi IX DPR mengenai pembahasan Laporan Kemajuan Pemeriksaan Investigasi Kasus Bank Century dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 30 September 2009, DPR menyatakan bahwa Perppu no 4 Tahun 2008 tentang JPSK ditolak oleh DPR.

PMS kepada BC sebesar Rp 6,762, 36 miliar, dari jumlah tersebut diantaranya sebesar Rp 2,886,22 miliar disalurkan setelah tanggal 18 Desember 2008, yaitu sebagian PMS tahap kedua sebesar Rp 1.101,00 milist, PMS tahap ketiga sebesar Rp 1,115,00 miliar dan PMS tahap keempat sebesar Rp 630,22 miliar.

BPK berpendapat bahwa penyaluran dana PMS kepada BC setelah tanggal 18 Desember tidak memiliki dasar hukum.

Hal ini ditegaskan oleh Ketua DPP Partai Demokrat yang juga anggota Pansus Century, Dja'far Hafsah saat berbicang dengan wartawan di Hotel Clarion Makassar.

Djafar ke Makassar dalam rangka kunjugan kerja. Ditegaskan, kebenaran memang harus diungkap sesuai fakta yang ada.

Jika memang bailout Century ini dianggap merugikan negara, dan harus diusung melalui hak angket, dilakukan saja.

Tapi, ada banyak persoalan-persoalan lain yang juga harus diangketkan. Yaitu, kasus
Bantuan lukuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang merugikan negara Rp670 triliun.

Yang terselesaikan sekitar Rp 400 triliun, sementara Rp 270 triliun lagi tidak selesai. Kasus ditutup, tapi barangnya tidak selesai kan? Jika kasus-kasus seperti ini mau dikorek kembali, hanya akan menyita waktu
saja. Itu saja pekerjaan kita, ujarnya.

Kendati demikian, ia mengungkapkan bahwa kasus Century, sepertiya menargetkan Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Wapres Budiono. Sementara, lanjutnya, Wapres dan Presiden itu satu paket.

Ini menjadi ruwet dan ini saja yang diurusi. Walapun kelihatan enjoy, Tim Pansus yang dibentuk adalah tim politik bukan tim pengadilan. Bukan penyidikan hanya penyelidikan. Sehingga pandangan yang muncul adalah pandangan politis, pungkasnya.

Sumber:
http://inilah.com/read/detail/183973/inilah-hasil-investigasi-bpk-atas-kasus-century-1; dll.

0 comments:

Post a Comment